MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Tasawuf Sosial
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA
Disusun oleh :
·
Arina Khasnawati (1504046047)
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemajuan
peradapan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) dan ekonomi. Makin maju perkembangan suatu masyarakat dan
bangsa, maka makin maju pula kehidupan bisnisnya.
Sebaliknya,
makin merosot perkembangan bisnis suatu bangsa, maka makin merosot pula
kehidupan bangsa itu. Indonesia saat ini misalnya dapat dikatakan terpuruk,
karena kehidupan ekonomi dan bisnisnya mengalami kemerosotan sejak pertengahan
1997.
Kalau
ingin Indonesia maju dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia,
maka ia harus dapat memulihkan kembali kehidupan ekonomi dan bisnisnya selain
memajukan pendidikan dan ipteknya. Karena dalam praktiknya perkembangan ekonomi
tidak berjalan sendiri, tetapi selalu ditunjang oleh inovasi iptek.
Dengan
demikian, perkembangan ekonomi merupakan indikator kemajuan atau kemunduran
suatu bangsa. Sebagai bangsa yang ingin maju tentu saja kita berharap kehidupan
ekonomi di negeri ini dapat segera pulih dan bergairah kembali.
B.
Rumusan Masalah
Ø Apa yang
dimaksud dengan tasawuf ?
Ø Bagaimana
tasawuf menjawab problematika ekonomi di zaman modern ini ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Banyak
dari para ahli berbeda pendapat mengenai pengertian tasawuf.
Ø Kata
tasawuf mulai dipercakapkan pada abad dua hijriyah yang dikaitkan dengan salah
satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff (wol kasar). Kain sejenis itu sangat digemari
oleh para zahid sehingga menjadi simbol kesederhanaan pada masa itu.
Ø Sebagian
kalangan berpendapat kata tasawuf berasal dari akar kata ash-shafa atau suffah
artinya serambi masjid Nabawi. Pendapat ini dikaitkan dengan sekelompok
muhajirin yang hidup dalam kesederhanaan di Madinah, dimana mereka selalu
berkumpul di serambi masjid Nabawi.
Ø Ada pula
yang berpendapat tasawuf berasal dari kata shaff yang artinya barisan, karena para sufi selalu
pada barisan terdepan dalam mencari keridhoan Ilahi.
Ø Pendapat
lain memperkirakan kata tasawuf berasal dari kata shafa atau shafwun yang
berarti bening, karena hati sufi selalu bening.
Ø Sementara
lainnya mengatakan, bahwa tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yakni sophos yang
berarti hikmah atau keutamaan. Menurut pendapat ini, para sufi ini adalah
pencari hikmah atau ilmu hakikat.[1]
Dari definisi-definisi diatas, bisa ditarik
kesimpulan bahwa tasawuf adalah ikatan spiritual transendental yang
mempertautkan seorang sufi dengan Maula junjungannya dan menarik
kepada-Nya sehingga ia tergugah melakukan lebih banyak ibadah dan amal ketaatan
serta mengaktualisasikan seluruh akhlak mulia dalam perilakunya.
Prinsip dasar tasawuf adalah zuhud, kemudian menapak
naik jenjang-jenjang maqamat dan ahwal, hingga mencapai tahap
fana’ dari sesuatu selain Allah. Sedangkan tujuan idealistiknya adalah memperoleh
ma’rifat yang sempurna dari Allah melalui jalur kasyf atau ilham.[2]
B.
Tasawuf dan Problematika Ekonomi
Kehidupan
ekonomi akan membawa keuntungan semua pihak, seperti produsen, distributor,
pemasok, konsumen, perbankan, pemerintah, dan masyarakat luas. Karena kegiatan
ekonomi itu mencari untung yang sebesar-besarnya dengan ongkos yang
sekecil-kecilnya. Untuk menjamin keuntungan bagi semua pihak dan tidak ada
pihak yang dirugikan dalam kegiatan ekonomi, maka diperlukan peraturan hukum.
Untuk itu, muncullah berbagai peraturan perundang-undangan, seperti
undang-undang penanaman modal, undang-undang perbankan, undang-undang
ketenagakerjaan, dan masih banyak lagi.
Namun
peraturan hukum semata tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadinya perbuatan
curang, seperti korupsi misalnya dapat merugikan ekonomi negara. Karena itu,
selain peraturan hukum diperlukan perangkat lain yang bisa mencegah terjadinya
kecurangan, disini peran tasawuf sangat diperlukan. Tasawuf dapat mencegah
orang yang berbuat curang, karena tasawuf bersumber dari hati nurani.[3]
Salah satu
ajaran tasawuf adalah qana’ah (menerima apa adanya). Orang yang qana’ah hatinya
akan penuh dengan iman kepada Allah. Menurut Muhammad bin Ali at-Tirmidzi
qana’ah adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.[4] Jika
seseorang merasa puas terhadap apa yang didapatkan, hatinya akan menjadi
qana’ah, dan orang-orang yang bersikap qana’ah akan mudah untuk bersyukur
kepada Allah.
Jika sikap
qana’ah diterapkan pada zaman modern ini, akan sangat membantu problematika ekonomi
yang melanda bangsa kita. Karena orang yang bersikap qana’ah selalu ikhlas
menerima kenyataan hidup, tidak banyak berangan-angan, dan tidak bersikap iri
terhadap nikmat yang diterima orang lain.[5]
Ajaran
tasawuf yang lain adalah syukur. Al-jailani menafsirkan bahwa orang yang
bersyukur adalah mereka yang berterima kasih atas banyaknya karunia Allah yang telah
diberikan dan menggunakan sesuai haknya. Kenikmatan yang diberikan kepada Allah
seharusnya digunakan untuk kebaikan sesuai dengan fungsinya dan tidak
menggunakan kenikmatan itu untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Dengan
demikian, kesyukuran bukan semata dengan ucapan, tetapi adalah tindakan
kebaikan sesuai dengan kadar yang diberikan Allah. Seseorang yang tidak
menggunakan kenikmatan dan fasilitas yang diberikan oleh Allah, seperti rejeki,
kesehatan, kekuatan untuk kebaikan berarti ia adalah orang yang tidak bersyukur
atau kufur terhadap nikmat Allah.[6]
Dalam
sebuah hadist diriwayatkan imam muslim yang artinya “lihatlah orang yang
dibawah kalian dan janganlah orang yang berada diatas kalian. Sebab itu, akan
mendidik kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah”. Hadist diatas
menganjurkan kita untuk bersyukur, karena dengan bersyukur kita terhindar dari
sifat tamak terlebih kecenderungan untuk korupsi.
Sementara
itu, zuhud juga penting dalam menangani problematika ekonomi pada saai ini.
Zuhud adalah menjauhkan diri dari segala hal yang bersifat duniawi. Orang yang
bersikap zuhud tidak menginginkan segala bentuk materi duniawi dan hanya akan
menyandarkan segala kebutuhannya kepada Allah. Jika seseorang mempunyai sikap
zuhud walaupun dia adalah seorang pejabat yang kaya raya, dia tidak akan
tertarik dengan gemerlap dunia. Orang yang mementingkan akhirat dan tidak
peduli dengan kekayaan dunia akan senantiasa berbuat baik tanpa memperdulikan
kondisi kehidupannya di dunia. Oleh karenanya orang yang demikian akan berupaya
menjalankan perintah Allah, meskipun untuk itu ia harus bersusah-susah di
dunia. [7]
Banyaknya
kasus suap dan korupsi di indonesia akhir-akhir ini dikarenakan mereka tidak
berhati-hati terhadap apa yang mereka terima. Salah satu ajaran tasawuf yang
efisien digunakan untuk kasus ini adalah wara’. Wara’ berarti menahan diri
terhadap hal-hal yang diharamkan, terhadap sesuatu yang tidak jelas atau belum
jelas hukumnya (subhat), dan terhadap hal yang halal jika dilakukan akan
menimbulkan kekhawatiran untuk menjerumuskan diri ke dalam perbuatan yang
diharamkan. [8]
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Tasawuf
adalah ikatan spiritual transendental yang mempertautkan seorang sufi dengan Maula
junjungannya dan menarik kepada-Nya sehingga ia tergugah melakukan lebih
banyak ibadah dan amal ketaatan serta mengaktualisasikan seluruh akhlak mulia
dalam perilakunya.
Kehidupan
ekonomi akan membawa keuntungan semua pihak, seperti produsen, distributor,
pemasok, konsumen, perbankan, pemerintah, dan masyarakat luas. Untuk menjamin
keuntungan bagi semua pihak dan tidak ada pihak yang dirugikan dalam kegiatan
ekonomi, maka diperlukan peraturan hukum. Untuk itu, muncullah berbagai
peraturan perundang-undangan, seperti undang-undang penanaman modal,
undang-undang perbankan, undang-undang ketenagakerjaan, dan masih banyak lagi.
Namun
peraturan hukum semata tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadinya perbuatan
curang, seperti korupsi misalnya dapat merugikan ekonomi negara. Karena itu,
selain peraturan hukum diperlukan perangkat lain yang bisa mencegah terjadinya
kecurangan, disini peran tasawuf sangat diperlukan. Tasawuf dapat mencegah
orang yang berbuat curang, karena tasawuf bersumber dari hati nurani.
Qana’ah,
syukur, zuhud, dan wara’ merupakan ajaran tasawuf yang relevan dalam mengatasi
problematika ekonomi di era modern ini. Inilah makna penting tasawuf dalam
mengatasi problematika ekonomi di era modern.
DAFTAR
PUSTAKA
Hajjaj,
Muhammad Fauqi. 2011. Tasawuf Islam &Akhlak Jakarta; Amzah.
Lukman
Hakiem, Muhammad. 2006. Risalah
Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf), Surabaya: Risalah Gusti.
Muhammad,
Hasyim. 2015. Psikologi Qur’ani, Semarang:
CV. Karya Abadi Jaya.
Siregar,
A. Rivay.1999. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufismie, Jakarta; PT
Raja Grafindo Persada.
Tebba,
Sudirman. 2003. Tasawuf Positif, Jakarta; PRENADA MEDIA.
[1] Prof H. A.
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufismie (Jakarta; PT
Raja Grafindo Persada, 1999) hal 31-32
[2] Dr. Muhammad
Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam &Akhlak (Jakarta; Amzah. 2011) hal 12
[3] Sudirman
Tebba, Tasawuf Positif (Jakarta; PRENADA MEDIA, 2003) hal 181-183
[4] Muhammad
Lukman Hakiem, Risalah Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf), (Surabaya:
Risalah Gusti, 2006), hal 174
[5] Dr. Hasyim
Muhammad M.Ag, Psikologi Qur’ani, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya. 2015) hal 72
[6] Ibid, Hal
63
[8] Ibid, hal
37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar