Rabu, 30 November 2016

MAKALAH TASAWUF DAN PROBLEMATIKA EKONOMI


 
TASAWUF DAN PROBLEMATIKA EKONOMI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Tasawuf Sosial
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA



                                       

Disusun oleh :

·     Arina Khasnawati               (1504046047)


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kemajuan peradapan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan ekonomi. Makin maju perkembangan suatu masyarakat dan bangsa, maka makin maju pula kehidupan bisnisnya.
Sebaliknya, makin merosot perkembangan bisnis suatu bangsa, maka makin merosot pula kehidupan bangsa itu. Indonesia saat ini misalnya dapat dikatakan terpuruk, karena kehidupan ekonomi dan bisnisnya mengalami kemerosotan sejak pertengahan 1997.
Kalau ingin Indonesia maju dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, maka ia harus dapat memulihkan kembali kehidupan ekonomi dan bisnisnya selain memajukan pendidikan dan ipteknya. Karena dalam praktiknya perkembangan ekonomi tidak berjalan sendiri, tetapi selalu ditunjang oleh inovasi iptek.
Dengan demikian, perkembangan ekonomi merupakan indikator kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Sebagai bangsa yang ingin maju tentu saja kita berharap kehidupan ekonomi di negeri ini dapat segera pulih dan bergairah kembali.
B.     Rumusan Masalah
Ø  Apa yang dimaksud dengan tasawuf ?
Ø  Bagaimana tasawuf menjawab problematika ekonomi di zaman modern ini ?







II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf
Banyak dari para ahli berbeda pendapat mengenai pengertian tasawuf.
Ø  Kata tasawuf mulai dipercakapkan pada abad dua hijriyah yang dikaitkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff  (wol kasar). Kain sejenis itu sangat digemari oleh para zahid sehingga menjadi simbol kesederhanaan pada masa itu.
Ø  Sebagian kalangan berpendapat kata tasawuf berasal dari akar kata ash-shafa atau suffah artinya serambi masjid Nabawi. Pendapat ini dikaitkan dengan sekelompok muhajirin yang hidup dalam kesederhanaan di Madinah, dimana mereka selalu berkumpul di serambi masjid Nabawi.
Ø  Ada pula yang berpendapat tasawuf berasal dari kata shaff  yang artinya barisan, karena para sufi selalu pada barisan terdepan dalam mencari keridhoan Ilahi.
Ø  Pendapat lain memperkirakan kata tasawuf berasal dari kata shafa atau shafwun yang berarti bening, karena hati sufi selalu bening.
Ø  Sementara lainnya mengatakan, bahwa tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yakni sophos yang berarti hikmah atau keutamaan. Menurut pendapat ini, para sufi ini adalah pencari hikmah atau ilmu hakikat.[1]
Dari definisi-definisi diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa tasawuf adalah ikatan spiritual transendental yang mempertautkan seorang sufi dengan Maula junjungannya dan menarik kepada-Nya sehingga ia tergugah melakukan lebih banyak ibadah dan amal ketaatan serta mengaktualisasikan seluruh akhlak mulia dalam perilakunya.
Prinsip dasar tasawuf adalah zuhud, kemudian menapak naik jenjang-jenjang maqamat dan ahwal, hingga mencapai tahap fana’ dari sesuatu selain Allah. Sedangkan tujuan idealistiknya adalah memperoleh ma’rifat yang sempurna dari Allah melalui jalur kasyf atau ilham.[2]



B.     Tasawuf dan Problematika Ekonomi
Kehidupan ekonomi akan membawa keuntungan semua pihak, seperti produsen, distributor, pemasok, konsumen, perbankan, pemerintah, dan masyarakat luas. Karena kegiatan ekonomi itu mencari untung yang sebesar-besarnya dengan ongkos yang sekecil-kecilnya. Untuk menjamin keuntungan bagi semua pihak dan tidak ada pihak yang dirugikan dalam kegiatan ekonomi, maka diperlukan peraturan hukum. Untuk itu, muncullah berbagai peraturan perundang-undangan, seperti undang-undang penanaman modal, undang-undang perbankan, undang-undang ketenagakerjaan, dan masih banyak lagi.
Namun peraturan hukum semata tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadinya perbuatan curang, seperti korupsi misalnya dapat merugikan ekonomi negara. Karena itu, selain peraturan hukum diperlukan perangkat lain yang bisa mencegah terjadinya kecurangan, disini peran tasawuf sangat diperlukan. Tasawuf dapat mencegah orang yang berbuat curang, karena tasawuf bersumber dari hati nurani.[3]
Salah satu ajaran tasawuf adalah qana’ah (menerima apa adanya). Orang yang qana’ah hatinya akan penuh dengan iman kepada Allah. Menurut Muhammad bin Ali at-Tirmidzi qana’ah adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.[4] Jika seseorang merasa puas terhadap apa yang didapatkan, hatinya akan menjadi qana’ah, dan orang-orang yang bersikap qana’ah akan mudah untuk bersyukur kepada Allah.
Jika sikap qana’ah diterapkan pada zaman modern ini, akan sangat membantu problematika ekonomi yang melanda bangsa kita. Karena orang yang bersikap qana’ah selalu ikhlas menerima kenyataan hidup, tidak banyak berangan-angan, dan tidak bersikap iri terhadap nikmat yang diterima orang lain.[5]
Ajaran tasawuf yang lain adalah syukur. Al-jailani menafsirkan bahwa orang yang bersyukur adalah mereka yang berterima kasih atas banyaknya karunia Allah yang telah diberikan dan menggunakan sesuai haknya. Kenikmatan yang diberikan kepada Allah seharusnya digunakan untuk kebaikan sesuai dengan fungsinya dan tidak menggunakan kenikmatan itu untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Dengan demikian, kesyukuran bukan semata dengan ucapan, tetapi adalah tindakan kebaikan sesuai dengan kadar yang diberikan Allah. Seseorang yang tidak menggunakan kenikmatan dan fasilitas yang diberikan oleh Allah, seperti rejeki, kesehatan, kekuatan untuk kebaikan berarti ia adalah orang yang tidak bersyukur atau kufur terhadap nikmat Allah.[6]
Dalam sebuah hadist diriwayatkan imam muslim yang artinya “lihatlah orang yang dibawah kalian dan janganlah orang yang berada diatas kalian. Sebab itu, akan mendidik kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah”. Hadist diatas menganjurkan kita untuk bersyukur, karena dengan bersyukur kita terhindar dari sifat tamak terlebih kecenderungan untuk korupsi.
Sementara itu, zuhud juga penting dalam menangani problematika ekonomi pada saai ini. Zuhud adalah menjauhkan diri dari segala hal yang bersifat duniawi. Orang yang bersikap zuhud tidak menginginkan segala bentuk materi duniawi dan hanya akan menyandarkan segala kebutuhannya kepada Allah. Jika seseorang mempunyai sikap zuhud walaupun dia adalah seorang pejabat yang kaya raya, dia tidak akan tertarik dengan gemerlap dunia. Orang yang mementingkan akhirat dan tidak peduli dengan kekayaan dunia akan senantiasa berbuat baik tanpa memperdulikan kondisi kehidupannya di dunia. Oleh karenanya orang yang demikian akan berupaya menjalankan perintah Allah, meskipun untuk itu ia harus bersusah-susah di dunia. [7]
Banyaknya kasus suap dan korupsi di indonesia akhir-akhir ini dikarenakan mereka tidak berhati-hati terhadap apa yang mereka terima. Salah satu ajaran tasawuf yang efisien digunakan untuk kasus ini adalah wara’. Wara’ berarti menahan diri terhadap hal-hal yang diharamkan, terhadap sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (subhat), dan terhadap hal yang halal jika dilakukan akan menimbulkan kekhawatiran untuk menjerumuskan diri ke dalam perbuatan yang diharamkan. [8]
III.             PENUTUP
Kesimpulan
Tasawuf adalah ikatan spiritual transendental yang mempertautkan seorang sufi dengan Maula junjungannya dan menarik kepada-Nya sehingga ia tergugah melakukan lebih banyak ibadah dan amal ketaatan serta mengaktualisasikan seluruh akhlak mulia dalam perilakunya.
Kehidupan ekonomi akan membawa keuntungan semua pihak, seperti produsen, distributor, pemasok, konsumen, perbankan, pemerintah, dan masyarakat luas. Untuk menjamin keuntungan bagi semua pihak dan tidak ada pihak yang dirugikan dalam kegiatan ekonomi, maka diperlukan peraturan hukum. Untuk itu, muncullah berbagai peraturan perundang-undangan, seperti undang-undang penanaman modal, undang-undang perbankan, undang-undang ketenagakerjaan, dan masih banyak lagi.
Namun peraturan hukum semata tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadinya perbuatan curang, seperti korupsi misalnya dapat merugikan ekonomi negara. Karena itu, selain peraturan hukum diperlukan perangkat lain yang bisa mencegah terjadinya kecurangan, disini peran tasawuf sangat diperlukan. Tasawuf dapat mencegah orang yang berbuat curang, karena tasawuf bersumber dari hati nurani.
Qana’ah, syukur, zuhud, dan wara’ merupakan ajaran tasawuf yang relevan dalam mengatasi problematika ekonomi di era modern ini. Inilah makna penting tasawuf dalam mengatasi problematika ekonomi di era modern.












DAFTAR PUSTAKA
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tasawuf Islam &Akhlak Jakarta; Amzah.
Lukman Hakiem, Muhammad. 2006.  Risalah Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf), Surabaya: Risalah Gusti.
Muhammad, Hasyim. 2015.  Psikologi Qur’ani, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
Siregar, A. Rivay.1999. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufismie, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.
Tebba, Sudirman. 2003. Tasawuf Positif, Jakarta; PRENADA MEDIA.





[1] Prof H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufismie (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1999)  hal 31-32
[2] Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam &Akhlak (Jakarta; Amzah. 2011) hal 12
[3] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif (Jakarta; PRENADA MEDIA, 2003) hal 181-183
[4] Muhammad Lukman Hakiem, Risalah Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf), (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), hal 174
[5] Dr. Hasyim Muhammad M.Ag, Psikologi Qur’ani, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya. 2015)  hal 72

[6] Ibid, Hal 63
[7] Ibid, Hal 50
[8] Ibid, hal 37

                                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar