Rabu, 12 Oktober 2016

Ibnu Arabi


I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ibn ‘Arabi merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal dalam sejarah peradapan Islam. Pemikiran-pemikiran spiritualis kelahiran spanyol ini sering kali menghentak-hentak kesadaran. Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut hakikat dan makna hidup, yang juga menjadi perhatian dan problem manusia dari zaman ke zaman, yang tak pernah henti.
Dalam peradapan dunia sufisme, benturan-benturan pemikiran inilah yang memunculkan adanya kelompok mayoritas dan minoritas. Bila kelompok mayoritas adalah al-Ghazali, maka salah satu kelompok minoritasnya adalah Ibn ‘Arabi. Ada beberapa hal yang menyebabkan terpinggirkannya pemikiran dan ajaran Ibn ‘Arabi, salah satunya karena terbatasnya para pengikut dan literatur yang tersebar. Padahal pemikiran Ibn Arabi penuh dengan daya pesona sekaligus memilliki kristisisme tingkat tinggi karena kajiannya mencakup wilayah mendasar, filsafat, agama, yakni di bidang metafisis-ontologis. Melakukan eksplorasi secara kontemplatif dan rasional, demonstratif, tentang hakikat keberadan tuhan, alam raya dan bagaimana manusia harus memahami antara keduanya.
Semakin lengkap pula “peminggiran” dan kecurigaan terhadap Ibn ‘Arabi, karena prespektif yang digunakan yakni perpaduan tradisi tasawuf-falsafi. Prespektif yang melahirkan pemikiran liberal seperti Ibn ‘Arabi ini dikhawatirkan terutama oleh ahli fiqih dan kalam akan menggoncangkan iman umat. Disisi lain melihat prespektif, kecerdikan, dan keunikan cara bernalar, Ibn ‘Arabi menjadu ikon tersendiri bagi generasi yang gandrung oleh kreatifitas, kebebasan, dan kemerdekaan.
            Disadari bahwa masih banyak bidang sejarah perkembangan tasawuf yang dapat dikemukakan. Namun, keterbatasan yang ada menyebabkan kajian ini belum mencakup seluruhnya. Insyaallah pada lain kali, kita dapat mencoba menjamah aspek sejarah perkembangan tasawuf  lebih dalam lagi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah biografi Ibnu Arabi?
2.      Bagaimana Setting sosial kehidupan Ibnu Arabi?
3.      Bagaimanakah pemikiran Ibnu Arabi?
4.       Apa saja karya-karya Ibnu Arabi?
II.                PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu Arabi
Syekh Muhiy’ud Din Ibn Arabi dilahirkan di Murcia, sebelah tenggara Spanyol pada tanggal 17 Ramadhan 560 H (28 juli 1165). Menurut kalender Qamariyah, tanggal ini menandai genap setahun proklamasi “kebangkitan Agung” di Alumut Iran oleh Imam Hasan (Ala dzikrihi as-salam, kedamaian dalam mengingatnya), yang melembagakan Islam spiritual murni atau Ismailiyah Iran.[1] Ayahnya adalah murid setia Syekh Abal-Qadir al-Gillani, serta seorang yang terkemuka dan terhormat. Pada masa kecilnya, ia diajar ilmu agama oleh dua wanita suci, Yasmin dari Marchena dan Fatima dari Cordova. Ketika ia berumur delapan tahun, keluarganya pindah ke Sevilla, tempat ia mempelajari ilmu al-Qur’an dan ilmu Hadist.[2] Ketika mendekati usia dua puluh tahun ia menyadari akan pintu masuknya yang pasti menuju jalan spiritual dan inisiasi awal tuntunannya ke dalam rahasia dunia mistik.[3]
Pada tahun 1200 M, dia mengungkapkan mimpinya untuk pergi ke Timur, dan dua tahun kemudian ia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ketika itu, ia berdo’a pada tuhan dan memohon kepada-Nya agar menampakkan diri secara utuh, baik dalam dunia materi maupun dunia spiritual. Dia mencatat apa yang dialaminya di bidang itu kebijaksanaan). Dari Makkah kemudian ia melakukan serangkaian lawatan ke berbagai kota di pusat-pusat wilayah Islam,setelah tinggal beberapa saat di Damaskus, Ibnu Arabi wafat di sana pada tanggal 28 Rabiul akhir 638 H (16 November 1240).
Pada masanya, Syekh Ibn Arabi dikenal sebagai filosof besar, seorang penulis sufistik yang produktif, dan guru spiritual ulung, dan karyanya yang selamat masih membangkitkan banyak rasa ketertarikan pada zaman sekarang ini. Ibnu Arabi juga mensintesiskan hukum syariat (fiqih), teologi, filsafat, tasawuf, kosmologi, psikologi dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Sejumlah murid-muridnya yang menyebarkan ajaran-ajaran Ibnu Arabi ke seluruh penjuru dunia Islam, dan dalam kurun waktu dua abad hanya sedikit ekspresi intektualitas Islam yang tak tersentuh oleh kegeniusannya. Dia senantiasa mengilhami para intelektual Muslim bahkan di abad mendatang sekalipun, dan pengaruhnya telah menembus bentuk-bentuk Islam yang populer.[4]
Sebagai guru awliya, Ibnu Arabi memiliki banyak kelebihan dan karamah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fatawa Al-Haditsiyah, bahwa Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi pernah dalam waktu 30 bulan hanya berwudhu satu kali saja. Berarti selama itu pula beliau tidak batal wudhunya, sulit dibayangkan memang juga tidak tidur selama waktu itu. Sangat banyak karamah yang dimiliki oleh Syaikh Ibnu Arabi.
Kitabnya yang tidak kalah terkenal adalah Futuhatul Makkiyah yang terdiri dari dua puluh jilid. Konon diperoleh keterangan, bahwa beliau menulis kitab itu di Makkah. Dan ketika suatu waktu beliau pergi ke Irak. Banyak ulama Irak yang mendatangi Syaikh Ibnu Arabi untuk meyalin kitab Futuhatul Makkiyah tersebut. “Kitab itu tidak berada disini, kitab itu berada di Makkah, aku tidak membawanya” ucap beliau. Akan tetapi ulama Irak tersebut mendesak, maka akhirnya Syaikh Ibnu Arabi mendiktekan kitabnya itu kepada para ulama yang akan menyalin kitab tersebut selama beberaoa waktu. Dan ketika kitab aslinya dibawa ke Irak, ternyata apa yang didektekan Ibnu Arabi kepada ulama Irak sama persisi dengan kitab aslinya. Padahal kitab tersebut sangat tebal.[5]
B.     Setting Sosial kehidupan Ibnu Arabi
Perjalanannya dimulai beberapa tahun setelah Averros (Ibnu Rusyd)  meninggal. Ibnu Arabi merasa tidak memungkinkan untuk dirinya terus menetap di spanyol karena seperti yang disebutkan diatas bahwa kelahirannya bertepatan dengan genap setahun proklamasi melembagakan spiritualitas Islam atau Ismailiyah Iran, maka banyak kesepadanan antara pemikirn Ibnu Arabi dengan teologi Syi’i. Terlihat paradoks bagaimana pendukung pergerakan “Neotradisionalisme” di Barat sedikit sekali yang tertarik pada Syi’ah sebagai gambaran tradisi Islam esoteris. Kita mendapat indikasi bahwa Ibnu Arabi mengenal dengan baik mazhab Almeria dan adanya fakta bahwa ia menulis sebuah syarah atas satu-satunya karya yang tersisa dari Ibnu Qasi (pendiri gerakan muriddin di Portugal Selatan, dimana bisa terlihat ciri bawaannya yang diilhami oleh Syi’ah Ismailiyah.
Teofani yang berulang secara terus-menerus, keabadian misterinya tidak memerlukan magisteria dogmatis, melainkan mendasarkan diri kepada kitab wahyu sebagai “sandi” dari sebuah sabda abadi, yang selamanya bisa menghasilkan penciptaan baru (dalam bagian kedua buku ini, ide Ibnu Arabi tentang “penciptaan terus-menerus”). Inilah ide Syi’ah yang sesungguhnya mengenai ta’wil, penafsiran spiritual esoterik yang memahami segala data material, fakta, dan apa saja sebagai simbol mentransmutasikan dan mengembalikankepada pribadi-pribadi yang disimbolkan. Ibnu Arabi sendiri seorang ahli ta’wil yang besar dan mustahil berbicara ta’wil tanpa berbicara tentang Syi’ah, karena ta’wil adalah asas mereka dalam berhadapan dengan teks suci. Demikianlah kita diperkenalkan pada suatu spiritualitas Timur yang berbeda dengan Barat.
Tiga tahun setelah pemakaman Averros, terjadi peristiwa lsin yang dipandang mengandung arti simbolik dalam kehidupan Ibnu Arabi. Dengan tekad hati dia meninggalkan tanah kelahirannya dan tanpa berharp akan pulang kembali, Ibnu Arabi berangkat kearah timur.[6] Enam belas tahun setelah Ibnu Arabi wafat, dalam kalangan generasi murid-murid Najm Kubra (ayah dari Maulana Jalaluddin Rumi) terdapat even penting yang belum pernah dibahas secara memadai yakni persoalan mengenai keserupaan dan penyatuan kembali antara teosofi Ibnu Arabi dan teosofi sufisme asal Asia Tengah, dan akibatnya nanti pada sufisme Syi’ah.
Hal-hal yang disiratkan oleh teofani itulah yang harus menghubungkan ciri dominan karakter Ibnu Arabi, ciri yang membuatnya tidak hanya menjadi murid master manusia seperti kebanyakan sufi, namun terutama dan secara hakiki menjadu “murid Khidr”. Fakta dijadikannya Khidr sebagai guru tampaknya telah menanamkan pada diri sang murid (sebagai individu) suatu dimensi transenden, dimensi “transhistoris”. Yang masih harus dipastikan adalah posisi Khidr dalam tatanan tertib teofanik: Bagaimana dia sebagai seorang pembmbing spiritual yang tidak tinggal secara keduniaan, dikaitkan dengan manifestasi tanpa henti yang ada dalam figur dirinya, dengan kekhasan yang berfariasi bisa kita dapati Roh Kudus.
Dalam hal ini kita terdorong untuk bertanya mengenai apakah hubungan sang murid dengan Khidr sama seperti hubungan yang yang jelas dimilikinya dengan Syaikh kasatmata yang lain dimuka bumi atau suatu hubungan yang memunculkan sederetan orang-orang dalam bentuk angka-angka, dengan perbedaan bahwa dalam satu kasus salah satu orang itu hanya bisa dilihat dalam alam al-mitsal. Untuk menjawab lengkap pertanyaan siapakah Khidr? Kita harus mengutip sebagian besar bahan dari sumber-sumber yang sangat beragam. Namun disini kita memandang ia secara hakiki sebagai guru nan kasatmata, yang kekal bagi mereka yang terpanggil menuju relasi langsung dengan dunia Ilahi tanpa perantara, bagi mereka yang tidak memperoleh penobatannya dari otoritas apapun, maka kami bisa membatasi diri pada beberapa titik inti: kemunculan dalam al-Qur’an, arti namanya, hubungannya dengan Nabi Ilyas, dan kemudian antara hubungan Ilyas dengan imam Syi’ah. Khidr adalah master dari semuanya ini, karena ia menunjukkan kepada setiap orang bagaimana cara mencapai keadaan spiritual yang telah diraih olehnya dan menjadi ciri khas dirinya. Hubungannya dengan setiap orang adalah hubungan antara teladan atau yang diteladani dengan ia yang meneladani. Inilah yang membuat ia pada saat yang sama bisa menjadi pribadi yang arketipenya sendiri, dan dengan cara menjadi seseorang dan orang lainnya, ia mampu menjadi guru bagi semua orang, karena tampil selaku teladan sesering dan sebanyak jumlah muridya, dengan peran membawakan setiap murid menuju kearah dirinya.[7]
C.     Pemikiran Ibn ‘Arabi
1.      Wahdatul Wujud
Di dalam naskah-naskah Islam, Ibnu ‘Arabi sangat sering dikenal sebagai pencetus utama doktrin Wahdatul Wujud, “kesatuan wujud” atau “kesatuan eksistensi”. Namun, ekspresi ini tidak ditemukan dalam karya-karyanya. Sesungguhnya karya yang khusus menampilkan sudut pandangnya kebanyakan bukan karena isi tulisan-tulisannya, namun karena perhatian para pengikutnya dan arah pemikiran Islam yang berkembang setelah dirinya. Karena itu, kita tidak dapat mengklaim bahwa “kesatuan wujud” adalah sebuah deskripsi yang memadai dari basis ontologinya.
Istilah wujud secara tipikal diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan beingi atau existence, dan ini lazim seperti keadilan yang sering digunakan dalam filsafat Islam maupun kalam. Namun, pengertian dasar istilah tersebut adalah “menemukan” atau “ditemukan” [kata wujud merupakan bentuk masdar dari wajada (menemukan) atau wujida (ditemukan). Sebagai esensial al-Haqq, wujud adalah dasar dari segala sesuatu yang tidak dapat ditentukan dan diketahui secara sesuatu yang ada di dalam bentuk apapun yang membuat dia dapat ditemukan.
 Pendeknya, tradisi Islam mutakhir benar ketika menisbatkan asal-muasal doktrin wahdatul wujud kepada Ibn ‘Arabi, karena dia menegasakan bahwa wujud dalam pengertian yang sebenarnya adalah zat tunggal dan tidak dapat menjadi dua wujud. Di sini dia mengikutu jejak-jejak sejumlah pemikir lebih awal, seperti al-Ghazali, yang mengomentari ungkapan tenteng keesaan tuhan (tauhid) seperti “Tidak ada tuhan selain tuhan” berarti tidak ada wujud selain Tuhan.[8] Maka ketika dia menyatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurut Ibn ‘Arabi berarti (i) bahwa semua yang ada hanyalah tunggal, (ii) bahwa zat tunggal tidak dipecah dalam bagian-bagian, dan (iii) bahwa tidaklah ada berlebih disini atau juga tidak ada kekurangan disana.[9]
Ibn Arabi memulai konsep wahdatul wujudnya dengan memakai istilah tajalli (menyingkap diri / perwujudan diri). Konsekuensi dari doktrin Zat tunggal (Wahdatul Wujud) seperti yang dikemukakan Ibnu Arabi adalah “bahwa segala subjek dari setiap predikat adalah Tuhan, bahkan apabila subjek yang nampak adalah berbeda, sebagai zat manusia ataupun bukan manusia. Tuhan adalah yang mengetahui dan yang diketahui, yang maha kuasa, dan obyek kekuasaan, yang berkehendak dan yang dikehendaki, penggerak dan yang digerakkan. Tuhan adalah pelaksana dari segala tindakan, baik atau buruk, pemegang dari seluruh kepercayaan, dan yang ada dari setiap pengalaman, yang menyenangkan ataupun yang menyakitkan. Ia juga merupakan tindakan-tindakan, gagasan-gagasan dan pengalaman-pengalaman yang berlangsung, yang diyakini atau yang dialami.
Tuhan imanen dan juga trensenden. Ia adalah imanen ejauh ia menyatu dengan dunia, dan Dia adalah satu dengan dunia dalam wujud, sebagaimana juga dengan sifat-sifat, tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman di dunia, yang diyakini dan diketahui, dikehendaki dan dilaksanakan, dinikmati dan dirasakan, yang mana Ia merupakan subyek nyata. Ia adalah Transenden sejauh Ia berbeda dengan dunia, , dan ia berbeda dari dunia sejauh dalam sifat-sifat yang tidak dapat menyatu dengan dunia, misalnya bahwa Dia adalah tak terbatas dan abadi, maha pencipta dan sesembahan.[10]
2.      Insan Kamil
Al-Insan Kamil adalah nama yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk menamakan seorang muslim yang telah sampai ke tingkat tertinggi, yaitu menurut sebagian sufi adalah tingkat seseorang yang telah sampai pada fana’ fillah. Memang terdapat kaum perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi dalam menentukan siapa yang bisa disebut al-Insan Kamil.
Manusia sempurna, menurut Ibnu Arabi adalah tempat tajalli tuhan yang paling sempurna, karena dia adalah al-kaun al-jami’, atau dia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin pada alam besar (makrokosmos), dan tergambar pada sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itulah manusia diangkat sebagai khalifah. Pada manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam, dimana substansi Tuhan dengan segala sifat dan asmaNya tampak padanya, dia adalah cermin yang menyingkapkan wujud Tuhan. Manusia sebenarnya adalah gambaran wujud Tuhan sebagai penjelmaan yang sempurna pada daya ciptaanNya. Adanya manusia adalah untuk menunjukkan akan kesempurnaan Tuhan dalam alam semseta dan untuk mencerminkan kebesaranNya.
Menurut Ibnu Arabi untuk mencapai Al-Insan Kamil orang harus melalui jalan berikut:
a.       Fana’, yaitu sirna di dalam wujud Tuhan sehingga seorang sufi menjadi satu denganNya.
b.      Baqa’, yaitu kelanjutan wujud bersama Tuhan sehingga dalam pandangannya, wujud Tuhanlah pada kesegalaan ini.[11]
D.    Karya-karya Ibnu Arabi
Dalam tulisan-tulisannya Ibnu Arabi menghimpun begitu banyak ajaran tentang berbagai subjek, dari doktrin-doktrin metafisika paling tinggi hingga makna esoteris pembasuhan ritual, termasuk kosmologi, numerologi, oneirologi, praktik sufi, keadaan-keadaan mistis dan sebagainya. Tak banyak mistikus lainnya dalam suatu tradisi agama yang menyuguhkan suatu eksposisi atau paparan panjang-lebar mengenai ajaran-ajaran dan pandangannya. Ibnu Arabi sendiri mendaftar 251 karya dalam kitab-kitabnya. Dari himpunan karya yang sangat banyak dan berlimpah ini, sungguh amat menyedihkan bahwa sedikit sekali karyanya yang dicetak, kurang banyak dikaji dan ditelaah serta diterjemahkan. Sekitar tujuh puluh satu darinya yang telah dicetak, kebanyakaan tanpa disertai studi kritis dan manuskrip yang ada; tiga puluh tiga karyanya, telah dikomentari oleh penulis-penulis muslim sejak masa Ibnu Arabi, dan baru 16 saja diantaranya diterjemahkan ke bahasa-bahasa non-Arab. Ajaran-ajaran Ibnu Arabi yang amat penting dalam memahami secara tepat dan benar tentang tasawuf meupakan sumbangan yang amat berharga pada studi tentang mistisisme komparatif.[12]
Yang pertama dan paling penting diantara karya-karyanya adalah Ruh Al-Quds fi Munashahat Al-Nafs (Ruh suci dalam menasehati jiwa). Karya ini berbentuk risalah yang ditujukan pada sahabat lamanya Abu Muhammad ‘Abd Aziz bin Abu Bakar Al-Quraisy Al-Mahdawi yang tinggal di Tunis. Karya ini disusun di Makkah pada tahun 600 H / 1203-1204 M dan membicarakan tentang tiga pokok pembahasan utama.
Ø  Pokok bahasan pertama adalah keluhan sang pengarang ihwal banyaknya penyalahgunaan dan berbagai kekurangan yang dipandangnya terhadap praktik sufi di zamannya.
Ø  Yang kedua, sebagai kompesensi, adalah bagian yang membicarakan kehidupan dan ajaran-ajaran dari sekitar 55 sufi yang telah mengajarnya atau telah di jumpainya. Maksud dan tujuan bagian ini menurut pengarang adalah menunjukkan bahwa meski terjadi penyalahgunaan toh masih ada banyak sufi yang sudah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi di dunia Islam.
Ø  Bagian ketiga dari Ruh Al-Quds fi Munashahat Al-Nafs adalah mendiskusikan beberapa kesulitan dan rintangan yang dijumpai di jalan spiritual, yang dilukiskan melalui deskripsi ihwal sebagian pengalaman pengarang sendiri.
Tak pelak lagi, karya ini sangat penting dalam hal untuk kehidupan ahwal dan perkembangan spiritual pengarangnya, tak kalah penting juga untuk menyoroti ajaran-ajaran dan praktik-praktik tasawuf. Arti penting ini tentu saja tidak diabaikan oleh para sarjana, sebab Ruh Al-Quds fi Munashahat Al-Nafs adalah sedikit karya Ibnu Arabi yang sudah dicetak dalam bahasa Arab dan diterjemahkan ke bahasa Eropa.
Karya ini telah dicetak tiga kali: pertama di Kairo (1281 H) dari manuskrip 2605 Yahya EF.; kedua oleh M. Asin Palacios di Madrid (1939) dari manuskrip 741 Escorial, ff. 21-40; dan belakangan ini di Damaskus (1964) dari sebuah manuskrip dalam koleksi Muhammad bin Muhammad Al-Jaza’iri dan disatukan dengan edisi tahun 1281 H. M. Asin Palacios juga menerjemahkan bagian biografi karya itu kedalam bahasa spanyol dalam sebuah studi dengan judul Vidas de Santones Andaluces, yang dipublikasikan di Madrid pada 1939.
Karya kedua adalah kitab Al-Durrat Al-Fakhirah fi Dzikir Man Intafa’tu bihi fi Thariq Al-Akhirah. (Mutiara berharga tentang orang-orang yang dari mereka aku peroleh manfaat di jalan akhirat). Sayangnya karya ini hanya ikhtisar dari karya lebih besar dengan judul serupa yang ditinggalkan Ibn’ Arabi di Spanyol dan AfrikaUtara. Situasi dan kondisi ketika ikhtisar ini ditulis, dengan baik dipaparkan oleh Ibn’ Arabi sendiri : ‘Salah seorang saudara di Damaskus yang telah bersikap baik padaku memintaku agar memperkenalkan dirinya dengan isi kandungan sebuah kitab yang didalamnya aku merekam orang-orang yang telah kujumpai di jalan akhirat. Hanya saja, aku tidak memiliki karya itu, akupun menyusun ikhtisar ini untuknya.
Tampaknya, satu-satunya manuskrip Durrah yang ada hanyalah manuskrip yang ditemukan Esad Ef di Istanbul. Manuskrip Esad Ef ditulis dengan tulisan tangan Naskhi yang tak rapi dan terkadang sulit sekali membaca kata-kata, nama-nama, dan frasa-frasa tertantu bahwa ada rentan waktu sekitar empat ratus tahun antara penyusunan naskah asli dan penulisan salinan naskah yang hingga kini diketahui satu-satunya yang masih ada.
Naskah asli dan versi Durrah yang sudah tidak ada lagi, pastilah ditulis sekitar kurun waktu sebelum tahun 600 H/1203-1204 M, sebab naskah itu disebut-sebut dalam Ruh Al-Quds yang bertitimangsa 600 H. Dalam karya Ibn’ Arabi sendiri, Fihris Al-Mushannafat, sebuah kitab berisi daftar karya-karyanya yang ditulis di Barat, yang salinanya masih ada pada tahun 627 H/1230 M, tidak termasuk karya-karya yang ia tinggalkan pada sahabatnya, mungkin Ibn Saidabun dan yanng tidak pernah dilihatnya lagi. Karena itu, boleh jadi manuskrip lengkap karya itu belum ditemukan.[13]
Dalam buku lain diceritakan ada satu karya Ibnu Arabi yang juga disebut-sebut sebagai karya utama beliau yaitu Futuhat. Judul lengkapnya : Kitab al-Futuhat al-Makkiyah fi Ma’rifatul al-Ashar al-Malikiyah wa al-Mulkiyah (“kitab perihal wahyu-wahyu yang turun di makkah mengenai pengetahuan raja dan kekuasaan”). Semula ia menyusun ini selama masa tinggalnya yang pertama kali di Makkah, diceritakan bahwa idealnya berasal dari ilham dan visi yang membanjiri jiwanya ketika tengah bertawaf, meskipun kita tidak tahu apa kejadian itu berupa suatu ritus fisik yang dibatonkan ataukah sekedar perulangan mentalnya. Karya tebal ini tidak ditulis dalam urutan yang berkesinambungan. Permulaan jilid IV ditulis pada tahun 1230, akhir jilid II ditulis pada tahun 1236, dan jilid III pada tahun berikutnya. Penulisan karya-karya ini menghabiskan beberapa tahun, dan hal ini akan menjadi terang bukan hanya dengan melihat panjangnya karya ini melainkan juga dengan mengetahui metode penulisan Ibnu Arabi : “Dalam karya ini, sebagaimana dalam semua karyaku yang lain “tulisannya”, aku tidak menoleh ke metode yang diturut dalam karya-karyaku yang lain. , aku juga tidak menganut metode yang lazim digunakan oleh para pengarang lain, apapun ciri khas mereka. Sesungguhnya setiap pengarang menulis menurut kewenangan kehendak bebasnya, meskipun dikatakan bahwa kebebasan tunduk kepada titah tuhan, ataupun menuruti inspirasi ilmu yang menjadi kekhususan si pengarang. Namun, seseorang pengarang yang menulis dibawah pendiktean inspirasi tuhan sering kali mencatat hal-hal yang (kelihatannya) tidak berkaitan dengan substansi bab yang tengah ditulis, pembaca awam akan keheranan karena bagaikan sisipan-sisipan yang tidak berhubungan, padahal pada pikiran pengarang semau itu berkenaan dengan bab yang sama, walaupun barang kali dengan alasan-alasan yang tidak disasdari orag lain. Dan lagi : “ketahuilah bahwa susunan-susunan bab Futuhat bukanlah hasil pilihan bebasku ataupun hasil refleksi yang kusengaja. Sesungguhnya Tuhan, melalui Malaikat Ilham mengimla’kan setiap hal yang kutulis, dan itulah sebabnya mengapa diantara dua pengembangan bagian aku kadang-kadang menyisipkan satu bagian lainnya yang tidak berhubungan dengan bagian yang mendahului atau yang mengikutinya”.[14]


















III.             PENUTUP
Kesimpulan
Syekh Muhiy’ud Din Ibn Arabi dilahirkan di Murcia, sebelah tenggara Spanyol pada tanggal 17 Ramadhan 560 H (28 juli 1165). Ayahnya adalah murid setia Syekh Abal-Qadir al-Gillani, serta seorang yang terkemuka dan terhormat. Pada masa kecilnya, ia diajar ilmu agama oleh dua wanita suci, Yasmin dari Marchena dan Fatima dari Cordova.
Ibnu Arabi merasa tidak memungkinkan untuk dirinya terus menetap di spanyol karena seperti yang disebutkan diatas bahwa kelahirannya bertepatan dengan genap setahun proklamasi melembagakan spiritualitas Islam atau Ismailiyah Iran, maka banyak kesepadanan antara pemikirn Ibnu Arabi dengan teologi Syi’i. Terlihat paradoks bagaimana pendukung pergerakan “Neotradisionalisme” di Barat sedikit sekali yang tertarik pada Syi’ah sebagai gambaran tradisi Islam esoteris.
Di dalam naskah-naskah Islam, Ibnu ‘Arabi sangat sering dikenal sebagai pencetus utama doktrin Wahdatul Wujud, “kesatuan wujud” atau “kesatuan eksistensi”. Konsekuensi dari doktrin Zat tunggal (Wahdatul Wujud) seperti yang dikemukakan Ibnu Arabi adalah “bahwa segala subjek dari setiap predikat adalah Tuhan, bahkan apabila subjek yang nampak adalah berbeda, sebagai zat manusia ataupun bukan manusia. Tuhan adalah yang mengetahui dan yang diketahui, yang maha kuasa, dan obyek kekuasaan, yang berkehendak dan yang dikehendaki, penggerak dan yang digerakkan. Tuhan adalah pelaksana dari segala tindakan, baik atau buruk, pemegang dari seluruh kepercayaan, dan yang ada dari setiap pengalaman, yang menyenangkan ataupun yang menyakitkan.
Dalam tulisan-tulisannya Ibnu Arabi menghimpun begitu banyak ajaran tentang berbagai subjek, dari doktrin-doktrin metafisika paling tinggi hingga makna esoteris pembasuhan ritual, termasuk kosmologi, numerologi, oneirologi, praktik sufi, keadaan-keadaan mistis dan sebagainya. Karya terbesar Ibnu Arabi meliputi tiga kitab yaitu: 1) Ruh Al-Quds fi Munashahat Al-Nafs (Ruh suci dalam menasehati jiwa). 2) Al-Durrat Al-Fakhirah fi Dzikir Man Intafa’tu bihi fi Thariq Al-Akhirah. (Mutiara berharga tentang orang-orang yang dari mereka aku peroleh manfaat di jalan akhirat). 3) Kitab al-Futuhat al-Makkiyah fi Ma’rifatul al-Ashar al-Malikiyah wa al-Mulkiyah (“kitab perihal wahyu-wahyu yang turun di makkah mengenai pengetahuan raja dan kekuasaan”).
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2008. Kisah sejuta Hikmah Kaum Sufi¸ Jakarta; Amzah.
Ansari, Muhammad Abd. Haqq. 1997.  Merajut Tradisi Syari’ah Sufisme, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada.
As, Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada.
Burdah, Ibnu dan Shohifullah. 2000. Jenjang-jenjang Sufisme, Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset.
Khozim, Moh dan Suhadi. 2002. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu Arabi, Yogyakarta; Lkis Yogyakarta.
Nasrullah. 2002. Bercengkerama Bersama Kaum Sufi, Jakarta; Hikmah.
Syahid, Achmad. 2001. Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi, Surabaya; Risalah Gusti.




[1] Henry Corbin diterj Moh Khozim dan Suhadi, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu Arabi, (Yogyakarta; Lkis Yogyakarta, 2002) hlm 39
[2] Syaikh Fadhlalla Haeri diterj Ibnu Burdah dan Shohifullah, Jenjang-jenjang Sufisme, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset, 2000) hlm 177
[3] Henry Corbin diterj Moh Khozim dan Suhadi, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu Arabi, (Yogyakarta; Lkis Yogyakarta, 2002) hlm 41
[4] William C. Chittik diterj Achmad Syahid, M.Ag, Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi, (Surabaya; Risalah Gusti, 2001) hlm 1
[5] Samsul Munir Amin, Kisah sejuta Hikmah Kaum Sufi¸ (Jakarta; Amzah, 2008) hlm 132-133.
[6] Henry Corbin diterj Moh Khozim dan Suhadi, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu Arabi, (Yogyakarta; Lkis Yogyakarta, 2002) hlm 24-29
[7] Ibid, hlm 55-63
[8] William C. Chittik diterj Achmad Syahid, M.Ag, Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi, (Surabaya; Risalah Gusti, 2001) hlm 27-29
[9] Dr. Muhammad Abd. Haqq Ansari, Merajut Tradisi Syari’ah Sufisme, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 1997)  hlm 168
[10] Ibid, hlm 172
[11] Drs. Asmaran As., M.A. Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 1994) hlm 345-348
[12] Ibn’ Arabi diterj M. S. Nasrullah, Bercengkerama Bersama Kaum Sufi, (Jakarta; Hikmah, 2002)  hlm 58-59
[13] Ibid, hlm 2-6
[14] Henry Corbin diterj Moh Khozim dan Suhadi, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu Arabi, (Yogyakarta; Lkis Yogyakarta, 2002) hlm 76-78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar